KONFLIK
ANTAR AGAMA DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Konflik
adalah polarisasi berbagai kepentingan atau keyakinan dari suatu kelompok yang
tidak terwadahi aspirasinya secara terus-menerus.Konflik terjadi karena adanya
perbedaan, persinggungan dan pergerakan.Sistem nilai, budaya, keyakinan
cenderung mengelompokkan masyarakat dalam sekat-sekat kelompok
yang bersifat kompetitif dan dominatif dari pada hubungan yang bersifat
koperatif. Hubungan sosial yang bersifat dominatif pada akhirnya akan
melahirkan hukum tradisional dan primitif yaitu siapa yang kuat itulah yang
menang dan berkuasa serta dialah yang membua thukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
konflik ada sebagai bagian dari proses perubahan sosial yang lahir karena
adanya heterogenitas kepentingan seperti kepentingan nilai-nilai keyakinan.
2. Rumusan Masalah
1.Mengapa
terjadi
Timbulnya Konflik Masyarakat Beragama
2. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
3. Perbedaan Suku dan
Ras Pemeluk Agama
4. Perbedaan Tingkat
Kebudayaan
5. Masalah Mayoritas
dan Minoritas Golongan Agama
6. Cara mengatasi konflik antar umat beragama
3.
Tujuan
Makalah
ini bertujuan untuk menghimbau seluruh mayoritas agama terutama yang ada di
Negara Indonesia untuk bertoleransi
antar agama baik agama islam keristen dan agama-agama yang lainnya.dan juga
setiap agama mengajarkan kita untuk saling menghormati masing-masing agama yang
lainnya. oleh sebab itu kita harus menghindari konflik-konflik agama agama yang
selama ini sering terjadi Negara kita ini dan untuk menghindari konflik-konfik
agama seperti konflik agama islam dan keristen dan masih banyak lagi konflik
yang terjadi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Timbulnya Konflik Masyarakat Beragama
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih
positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama
antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu
konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia.
Pada bagian ini akan diuraikan sebab
terjadinya konflik antar masyarakat beragama khususnya yang terjadi di
Indonesia dalam perspektif sosiologi agama.
Hendropuspito mengemukakan bahwa paling
tidak ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial
yang bersumber dari agama.1457
Dengan menggunakan kerangka teori
Hendropuspito, penulis ingin menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam
- Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:
2. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang
terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin
itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu. Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran
tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan
penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang
dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan
agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai
menurut patokan itu.
Agama Islam dan Kristen di Indonesia,
merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi
Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di beberapa tempat terjadinya
kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi
golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam
umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik
di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian
pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh
mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan
mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di
Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik
dan malah menganut garis keras.1458. Karena itu, faktor perbedaan doktrin
dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam
dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
3. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan
ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar
bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab
lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di wilayah Indonesia, antara
Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan
Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam
ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan
ketentraman dan keamanan.
Di beberapa tempat yang terjadi
kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang
mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku
Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi
korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non
Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai
perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
4. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya
bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia
tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam
masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar
kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak
perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat
memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang
memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja
lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok
masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai
faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok
agama di Indonesia.
5. Masalah Mayoritas da Minoritas
Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai
aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat
adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik,
massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan
kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang
Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang
mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok
minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen
sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti:
pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
6. Cara Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama
Untuk menghindari
terpicunya potensi konflik antar umat beragama , diperlukan beberapa cara untuk
meredam konflik tersebut , antara lain :
1.
Bersikap toleransi
Memberi kesempatan dan kebebasan antar umat
beragama untuk melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing - masing .
2.
Bersikap saling menghargai
Tidak saling melecehkan antara satu agama
dengan agama yang lain .
3.
Pengawasan lebih aparat keamanan
Pengawasan lebih bagi aparat keamanan baik
pada hari raya maupun tidak untuk menjaga kenyamanan masyarakat dalam beribadah
.
BAB III
KAJIAN TEORI
Konflik Islam -
Kristen di Indonesia
Awal
masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang
bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama, khususnya
agama Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi
konflik yang disertai dengan penindasan fisik dan mental dari orang Islam
terhadap orang Kristen di Maluku.
Setelah
Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut berubah dalam hubungan Islam -
Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang memberikan
keleluasaan yang besar kepada Islam untuk turut mendukung berbagai rencana
pengukuhan kedudukan penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada
sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau santri sejak awal perjuangan
untuk merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan
yang sekaligus merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat dalam umat.
Pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan adalah penampakan
ketidakpuasan sebagian santri terhadap gagalnya gagasan negara Islam
diberlakukan di Indonesia.
Pada
tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank, beberapa gereja, dan Sekolah
Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut
dalam peristiwa itu, namun adalah jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa
beberapa oknum Islam fundamentalis terlibat.
Sudah
merupakan gejala umum dalam kerusuhan di Indonesia bahwa bangkitnya oposisi
keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti pemerintah, anti Cia, dan anti
Kristen.
Pada
tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan berbagai kerusuhan di berbagai
tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah kota di sebelah
timur ibu kota DKI Jakarta mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara
SARA, dimana berapa gedung gereja dan SD Kristen dilempari batu oleh massa yang
marah. Peristiwa serupa dialami oleh orang-orang Kristen di daerah Cileungsi -
Bogor. Pada tanggal 14 April, beberapa Gereja Pantekosta dirusak dan
dihancurkan massa, bahkan ada anggota jemaat yang dipukuli oleh massa yang
marah dan brutal.
Kasus-kasus
yang melanda beberapa kota di Jawa Barat itu ternyata berkembang dan menjalar
ke kota Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja
dirusak oleh massa.
Pada
tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan lebih luas menimpa kota
Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja dan beberapa Sekolah
Kristen dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota
Tasikmalaya. Tanggal 26 Desember 1996, massa mengamuk dan menghancurkan
berbagai fasilitas umum, kantor polisi, dan gedung-gedung gereja. Tercatat
paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan sebagian dibakar, dua sekolah Kristen
dan Katolik dibakar.
Pada
awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali terjadi kerusuhan di daerah
Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah
Kristen dihancurkan dan sebagian dibakar massa.
Masih
ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya kental berbau keagamaan yang
belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat
sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat beragama Islam dengan
orang Kristen tak terhindarkan.
“Hakiem
(Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan
Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15 “
“Husaini,
Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press,
Jakarta, 2004 “
Contoh
Peristiwa Konflik yang ada di Mataram
Penelitian ini bertujuan mengungkap kasus
kerusuhan yang terjadi di Mataram tahun 2000 dan langkah-langkah yang ditempuh
pemerintah, serta upaya merumuskan rekomendasi penanganan dalam mencegah
kerusuhan. Latar belakang penelitian adalah keragaman etnis serta agama yang
tidak pernah memicu konflik dan kerusuhan, bahkan dalam batas-batas tertentu justru menjadi dasar lahirnya sikap
kompetisi terbuka yang sehat dalam kehidupan sosial politik masyarakat Mataram,
tiba-tiba dengan keragaman tersebut terindikasi menimbulkan kerawanan yang
berdampak pada timbulnya konflik dan kerusuhan di Mataram pada tahun 2000, yang
melibatkan penduduk Mataram dengan etnis Cina.
Penelitian ini
dilakukan di kota Mataram, mengenai peristiwa kerusuhan Januari 2000 antara
pemeluk agama Islam dan Kristen. Penelitian dilakukandengan menggunakan metode
kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik penelusuran dokumentasi,
wawancara mendalam, serta pengamatan di lokasi kerusuhan, pengungsi dan
obyek-obyek lain. Studi dokumentasi dilakukan terhadap bahan-bahan yang
diperoleh dari media massa, hasil-hasil kajian tentang kerusuhan sosial yang
telah dilakukan berbagai pihak dan buku-buku teks. Wawancara dilakukan dengan
berbagai pihak yang terkait dengan obyek penelitian. Pengamatan dilakukan pada
lokasi-lokasi bekas kerusuhan dan obyek-obyek lain yang memungkinkan.
Data yang sudah terkumpul disitematisasi dan
dianalisis lalu disusun laporan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa kota Mataram yang masyarakatnya mayoritas
beragama Islam, dan etnis lain terutama suku Bali, Buton. Manado merupakan
penganut agama yang berbeda dengan masyarakat (mayoritas). Pemeluk agama Islam
(76,47 %), sisanya pemeluk agama Hindu (17,55%), Kristen (2,5%), dan Budha
(2%).
Peristiwa kerusuhan Mataram disebut 171
karena terjadi pada tanggal 17 bulan 1 (Januari). Pemicunya adalah sikap lamban
pemerintah dalam penanganan konflik di Maluku, yang mengakibatkan sejumlah
massa setelah mengikuti tabligh akbar di lapangan Umum Mataram untuk menampakan
solidaritas terhadap muslim dilakukan diawali dengan pengerusakan
terhadap gereja Immanuel di belakang kantor walikota Mataram. Kerugian akibat
kerusuhan meliputi 10 gereja rusak, 30 rumah dan isinya dibakar, 26 pertokoan
dan 10 mobil serta 7 sepeda motor dibakar, korban luka-luka 13 orang termasuk
anggota polri. Penanganan dan penyelesaian kerusuhan dilakukan berbagai pihak,
baik oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama baik Islam, Kristen
dan Hindu. Penyelesaian kerusuhan dilakukan oleh pemerintah daerah dan aparat
keamanan melalui jalur hukum. Polda NTB pada tanggal 22 Januari 2000
mengumumkan pelaksanaan proses hukum terhadap 264 orang yang ditangkap dan 18
orang diantaranya dinyatakan sebagai tersangka.
Upaya pemulihan paska kerusuhan diprakarsai
oleh Walilkota Mataram dengan pertemuan tokoh dari berbagai agama, melalui
unsur Kandepag, Dandim, Polres, Kodam. Penanganan secara cepat dilakukan
Pejabat Pemda beserta tokoh agama, Kepolisian, sehingga kerusuhan dapat diatasi
relatif cepat. Kerusuhan berkhir pada sore hari bersamaan berkumandangnya azan
maghrib. Untuk menghindari terulangnya konflik dimasa mendatang telah
diupayakan penyadaran tentang pentingnya menjaga persatuan toleransi masyarakat
yang berbeda agama dan etnik, oleh instansi pemerintah dengan melibatkan
unsur-unsur masyarakat. Agar kelompok yang bertikai tidak saling dendam,
penyelesaian dilakukan melalui jalur hukum dan kesediaan Pemda merenovasi
bangunan-bangunan yang rusak. Mengingat ketaatan muslim di Mataram dan NTB pada
umumnya terhadap ulama sangat tinggi makadi masa-msa mendatang dalam penanganan
masalah-masalah kemasyarakatn Pemda baiknya lebih melibatkan ulama. (Muchit A.
Karim).
BAB
IV
PENUTUP
v Kesimpulan
Agama merupakan panduan moralitas manusia
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari untuk menemukan nilai-nilai
kemanusiaannya. Dengan adanya kesadaran beragama, manusia akan memiliki
kesadaran tentang betapa pentingnya kehadiran manusia lain. Manusia lain
tersebut tentu memiliki berbagai perbedaan dan keunikan tersendiri. Mulai dari
suku, agama, ras, maupun golongan. Perlu adanya
sebuah kesadaran untuk menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.
Agama
didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Dari pengertian
tersebut sebenarnya agama dapat digunakan sebagai alat yang meciptakan sebuah
keselarasan dalam masyarakat. Sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya,
baik jasmani maupun rohani.
v Saran
Untuk mencapai kerukunan antar umat beragama
, masyarakat harus bersikap toleransi antara satu agama dengan agama yang lain
untuk menghindari terpicunya potensi konflik antar umat beragama di lingkungan
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
“Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan
Keagamaan: Debat Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15 “
“Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen
Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004 ““http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=956&res=jpz”
“http://primadwianto.wordpress.com/2013/03/14/konflik-agama-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar